ICT sebagai alat ukur pergeseran norma dan perubahan sosial

Ada 2 artikel yang menarik yang saya jadikan referensi pada Seminar ICT dan Korupsi bersama KPK di Fak Teknik tgl 10 juni 2010) yaitu :

  1. Red Light States : Who Buys Online Adult Entertainment
  2. Disonance Cognitive

Artikel (1) Benyamin Edelman, mencoba membuktikan hipotesa bahwa di daerah yang notabene mempunyai aturan agama yang dijunjung tinggi, namun konsumsi terhadap pornografi relatif lebih besar dibandingkan dengan dengan daerah nasionalis yang cenderung masyarakatnya mempunyai toleransi tinggi. Survey tersebut dilakukan di seluruh negara bagian di Amerika Serikat yang dibagi menjadi 2 group yaitu daerah merah (Agamis) dan biru (nasionalis). Dan pengambilan data dilakukan atas mereka yang menggunakan internet untuk mengakses tayangan pornografi dan bahkan berlangganan entertaiment yang berbau pronagrafi dan pornoaksi. Tak kalah dengan Amerika, Indonesia baru saja menyajikan sebuah tontonan yang akan memberikan acuan norma baru dalam pergaulan, yaitu video ALM dan AC. Sampai-sampai Google mencatat angka fantastis 12,600,000 hasil (0.25 detik) untuk pencarian ALM dan 21,300,000 hasil (0.18 detik) untuk keyword AC.

Lantas bagaimana menjelaskan fenomena ini secara modelling mathematics ?

Artikel (2) Mathieu Rabin, memunculkan istilah Disonance Cognitive(DC) . Disonansi kognitif ini terjadi pada setiap orang yang mempunyai 2 sisi pemahaman dan atau kebenaran atas sebuah aktifitas yang dilakukan. Contoh sederhana adalah : Aktivitas merokok. Merokok adalah aktivitas yang dilarang karena mengganggu kesehatan. Namun seseorang masih tetap melakukan aktivitas tersebut karena beralasan bahawa tanpa merokok dia tidak dapat berkonsentrasi tatkala bekerja. Sehingga akibat adanya 2 nilai tersebut membuat seseorang yang merokok jatuh pada kondisi tidak nyaman atau Ketidaknyamanan akibat desonace cognitive. Variabel kedua adalah Toleransi Masyarakat (TM). Maksud dari variabel ini adalah seberapa besar toleransi yang diberikan oleh masyarakat atas tindakan yang kita lakukan. Sebagai contoh aktivitas merokok tadi, jikalau seseorang masih tetap merokok dan setiap hari menghabiskan 5 batang rokok, sementara masyarakat mentolerir bahawa merokok sehari maksimum 4 batang. Maka seseorang yang merokok diatas 4 batang akan jatuh pula pada ketidaknyaman karena melampaui toleransi yang dipasang oleh masyarakat sekitar.

Akhirnya setiap aktivitas yang dilakukan seseorang dapat diukur seberapa besar kenyamanan bersih (KB). Secara matematika akan lebih mudah dipahami :

Kenyamanan bersih = Kepuasan yang diperoleh – Ketidaknyaman karena Disonance Cognitive – Ketidaknyaman karena Toleransi Masyarakat

Atau

KB = Kepuasan – Ketidaknyamanan(DC + TM)

Dimana korelasi nya dengan artikel (1) ? Mohon masukannya dan ide kritisnya…..

Saya mencoba melakukan pendalaman sedikit atas model diatas. Kenyamanan bersih akan bernilai kecil apabila nilai ketidaknyamanan CD dan TM besar. Ambil salah satu variabel Ketidaknyamanan TM, apa sebenarnya yang mebuat nilai ketidaknyamanan TM membesar? Yang membuat hal tersebut adalah adanya kampanye atau seruan yang akhirnya membuat angka toleransi mendekati zero tolerance